Penetapan Luthfi Hasan Ishaaq sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap kuota impor daging
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (30/1), sungguh mengejutkan.
Bagaimana mungkin presiden partai yang mengusung jargon citra bersih
ternyata diduga melakukan perbuatan yang dilarang agama. Bagaimana menjelaskannya?
Bagaimana mungkin presiden partai yang mengusung jargon citra bersih ternyata diduga melakukan perbuatan yang dilarang agama. Bagaimana menjelaskannya?
Jika
mau menengok ke beberapa tahun ke belakang, sebenarnya kita tak perlu
”kaget-kaget amat”. Soalnya, kasus-kasus korupsi yang dianggap
bersentuhan dengan ranah agama justru banyak menyeret sejumlah tokoh.
Dana
Abadi Umat (DAU) menyeret mantan Menteri Agama Said Agil Husin Al
Munawar (Kabinet Gotong Royong 2001-2004), yang divonis hukuman lima
tahun penjara dan membayar denda Rp 200 juta serta uang pengganti Rp 2
miliar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Februari 2006. Hampir
bersamaan, DAU juga menyeret Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan
Ibadah Haji Departemen Agama Taufik Kamil, yang divonis empat tahun
penjara.
Juni 2012, KPK menyidik dugaan korupsi dalam pengadaan
Al Quran di Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama tahun
anggaran 2010-2011. Anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi Partai
Golkar, Zulkarnaen Jabbar, dan anaknya, Dendy Prasetya, ditetapkan
menjadi tersangka. Selain pengadaan Al Quran, Zulkarnaen juga terlibat
korupsi pengadaan laboratorium komputer madrasah tsanawiyah di Ditjen
Pendidikan Islam. Belakangan, pejabat pembuat komitmen di Ditjen Bimas
Islam, Ahmad Jauhari, juga ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam
kasus Luthfi, beberapa alat bukti menunjukkan, suap dari PT Indoguna
Utama tersebut mengarah kepada anggota DPR itu. Namun, PKS pun membela
diri. M Anis Matta, yang menggantikan Luthfi sebagai presiden partai,
bahkan menuding ada konspirasi untuk menghancurkan partai tersebut.
Namun, tampaknya publik percaya dengan KPK sebagai lembaga profesional
dan kredibel. Siapa pun yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh
komisi itu biasanya dapat dibuktikan kejahatannya di pengadilan.
Moralitas
Kita
semua sepakat, korupsi merupakan kejahatan luar biasa karena tak hanya
merugikan orang per orang, tetapi juga publik luas. Kejahatan ini
menggerogoti dana negara yang semestinya untuk pembangunan bagi rakyat.
Semua agama jelas-jelas melarang keras praktik korupsi (rasuah). Ajaran
Islam bahkan menegaskan, penyuap (al-rosyi) dan penerima suap
(al-murtasyi) bakal masuk neraka dan menerima siksaan pedih.
Namun,
mengapa banyak tokoh bisa terjerumus? Direktur Pusat Studi Agama dan
Demokrasi Yayasan Paramadina, Ihsan Ali-Fauzi, membuat pesan berseri
yang menarik di laman Twitter lewat akun @ihsan_AF. Dia mengingatkan,
kita jangan kaget oleh adanya agamawan yang tak kuat menahan godaan
korupsi.
Agama, kata Ihsan, bukanlah yang terpenting untuk
menentukan perilaku. Lidah seseorang boleh mengucapkan kalimat-kalimat
bijak agama, tetapi bisa jadi perilakunya menyimpang. Apalagi, ada
dorongan kebutuhan material tinggi, konsumerisme menggila.
”Faktanya,
negara-negara dengan tingkat ketaatan beragama tinggi juga adalah
negara-negara terparah korupsinya. Misalnya, Pakistan, India, Banglades,
juga Indonesia. Politisi, sekuler atau religius, bisa korup. Itu
menyangkut agama apa saja,” catatnya.
Direktur Pusat Pengkajian
Islam dan Masyarakat Ali Munhanif menilai, agama tak bisa sendirian
melawan praktik korupsi. Batasan-batasan moral agama tidak cukup kuat
untuk mendorong seseorang tetap bermoral ketika memperoleh peluang dan
punya kekuasaan. Perlu batasan-batasan legal yang bisa memaksa siapa pun
untuk mematuhi larangan korupsi.
”Kita memerlukan penegakan hukum tegas dan adil serta memperkuat lembaga pemberantasan korupsi,” katanya.
Menurut
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Ade Irawan, nilai-nilai
agama tetap relevan untuk memperkuat moralitas antikorupsi di masyarakat
dan pemerintahan. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan
kesalehan sosial dapat terus dikembangkan lewat pendidikan dan lembaga
agama. Penting juga keteladanan dari para pemimpin, pemerintahan yang
bersih dan bertanggung jawab, serta publik yang kritis.
Tokoh-tokoh
agama juga perlu menjadi contoh melawan korupsi dan mencegah lembaga
agama sebagai tempat pencucian uang hasil korupsi.
Sumber : kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar