Vivi Yip, adalah pendiri Vivi Yip Art Room,
sebuah galeri beraliran “new contemporary art”. Ia seorang wanita
cantik berusia 40 tahun dengan pengalaman lebih dari 10 tahun sebagai
eksekutif balai lelang Sotheby’s
Singapura. Pada tahun 2008, Vivi mendirikan galerinya sendiri yang
hanya memiliki dua orang karyawan: ia dan satu karyawan lainnya.
Meski hanya mempunyai dua orang karyawan, Vivi Yip Art Room terus
tumbuh. Sampai saat ini, sebulan sekali, Room mengadakan pameran. Dalam
pameran-pameran tersebut, semua karya seni dari perupa yang bernaung di
bawah Room hampir selalu terjual habis. “Sampai saat ini, sudah ada 10
seniman yang rata-rata sudah bekerja sama lebih dari 3 tahun bersama
Room,” kata Vivi kepada Inspirasi. Mereka adalah Angki
Purbandono, Agan Harahap, Arkiv Vilmansa, Badruzzaman, Erik Pauhrizi,
Hendra HeHe Harsono, Syagini Ratna Wulan aka Cagi, Theresia Agustina
Sitompul aka Tere, Wastuwidyawan, dan Sutra Djarot.
Ke-10 seniman tersebut dinamainya Young Indonesian Contemporary
Artists (YICA). Ini adalah bagian dari strategi Vivi untuk memberikan
identitas yang jelas bagi galerinya tersebut. “Identitas sebuah galeri
adalah aliran seni yang dipromosikannya,” kata Vivi.
Sebuah galeri perlu memiliki alirannya sendiri, ia melanjutkan,
karena aliran tersebutlah yang akan membedakannya dengan galeri seni
lain. “Seandainya seseorang membuka restoranpun, harus jelas makanan apa
yang bisa dimasaknya, demikian pula halnya dengan art,” kata Vivi.
Vivi mengakui naluri seni dan bisnisnya telah dipertajam ketika ia
bekerja di Sotheby’s. “Saya belajar banyak dari Sotheby’s, termasuk networking,
sampai kedisiplinan,” akunya. Meski posisinya sudah mapan di salah satu
balai lelang terbesar dunia tersebut, Vivi kemudian merasakan adanya
kerinduan untuk melakukan sesuatu untuk dunia seni Indonesia. “Saya
rindu untuk melihat seniman Indonesia berbicara banyak di tingkat
internasional, dan saya yakin sebenarnya kita mampu,” kata Vivi.
Penilaiannya terhadap potensi seniman Indonesia tidak main-main,
karena berasal dari pengalaman matang sebagai seorang pebisnis yang
memahami seni, sekaligus seniman yang memahami bisnis. “Saya yakin
seniman kita secara teknik sebenarnya sudah unggul. Seniman Kita bukan
tukang corat-coret yang lalu menyebut dirinya sebagai seniman,” kata
Vivi yang juga menjadi kurator di galerinya.
Atas dasar keyakinan itu, Vivi lalu keluar dari Sotheby’s dan
mendirikan Vivi Yip Art Room. Ia semakin percaya diri karena memiliki
pengalaman sebagai public relation, juga selama 10 tahun. Modal
saat itu sekitar Rp 100 jutaan yang bisa kembali dalam dua kali
pameran. Ia mengaku terberkati karena tidak pernah mengalami kesulitan
yang begitu berat dalam menjalankan bisnis ini. “Bahkan dalam pameran
yang paling tidak menjualpun, pemasukannya bisa menutupi pengeluaran
bulanannya,” kata Vivi.
Vivi memiliki keyakinan bahwa karya seni yang diciptakan perupanya
memiliki rumahnya masing-masing. “Oleh karena itu, saya selalu
memperlakukan Vivi Yip Art Room sebagai sebuah rumah dan para seniman
sebagai bagian dari keluarga,” kata Vivi. Sebagai kepala keluarga,
Vivi-lah yang kemudian mengelola karya seni para anggota keluarganya
untuk bisa diapresiasi dengan baik oleh pecintanya. Singkatnya, para
seniman hanya tinggal mencipta. “Saya mempromosikan, mempertemukan
dengan kolektor sampai mengadakan pameran-pameran,” kata Vivi.
Sebagai kompensasi bagi para seniman yang karya-karyanya laku
terjual, Vivi menerapkan sistem bagi hasil. Besarnya adalah 60:40,
dimana 40 adalah bagiannya. Namun jika pameran dilakukan di luar negeri,
sistem bagi hasil menjadi 50:50. “Harga jual lukisan berkisar antara Rp
20 juta – Rp 50 juta,” kata Vivi.
Harga ini sudah tetap, karena galeri adalah primary market.
Namun ketika ditawarkan dalam mekanisme lelang atau diluar galeri, harga
lukisannya bisa melambung tinggi, mencapai ratusan juta rupiah bahkan
miliaran rupiah. Itulah sebabnya, banyak pelukis yang kemudian bisa
mencapai kekayaan fenomenal seperti I Nyoman Masriadi.
Namun bagi Vivi, terjun ke bisnis seni tidak dilakukannya untuk
memperkaya diri, melainkan demi pemenuhan kepuasan pribadi. “Saya
menikmati setiap detail dalam pekerjaan ini,” katanya. Oleh karena itu,
dengan hanya dibantu 1 orang karyawan lainnya, Vivi Yip Art Room terus
berjalan. “Punya karyawan 5 orang atau 1 orang saja tampaknya sama
saja,” kata Vivi. Justru dengan tim kecil, kata Vivi, operasional galeri
bisa dilakukan dengan efisien.
Kuncinya, kata Vivi, adalah menyenangi apa yang dilakukan sekaligus
melakukan apa yang disenangi. “Jangan hanya turun ke bisnis seni, karena
melihat sisi glamornya,” kata perempuan lulusan Universitas Trisakti
ini. Dalam hal ini, Vivi menjelma sosok pengayom bagi para seniman yang
tergabung dalam YICA. “Menjalankan bisnis galeri tidak seperti makelar
yang tahunya hanya jual beli, tapi perlu juga memperhatikan kehidupan
para senimannya,” kata Vivi.
Inilah yang diterapkan Vivi, yaitu mengurusi para seniman tersebut
sampai ke hal-hal yang bersifat pribadi. “Saya kadang menjadi tempat
curcol atau mengurusi keuangan mereka,” kata Vivi. Kata Vivi, sebagai
pemilik galeri, ini hal yang perlu dilakukan. “Jangan hanya tahu sekadar
karyanya saja, tapi harus sampai ke kehidupan mereka. Dengan begitu,
maka akan tumbuh rasa saling percaya,” katanya.
Vivi ingin menjadi sosok yang berarti bagi para senimannya. “Saya
bahkan tidak pernah ikut campur dalam proses penciptaan mereka. Saya
memang memberi saran, tapi ini semua kembali ke seniman yang
bersangkutan,” katanya.
Dengan alasan yang sama, Vivi berusaha terus meningkatkan portfolio
senimannya, antara lain dengan mengadakan pameran karya-karya mereka.
“Seorang seniman bisa menciptakan karya macam-macam dan mungkin laris,
tapi jika tidak pernah pameran, ini hal yang tidak baik bagi mereka,”
kata Vivi.
Menurut Vivi, agar seniman memiliki bargaining power yang
kuat, ia harus memperhatikan banyak hal termasuk seberapa sering
pameran, siapa pengoleksi dan dimana diadakannya pameran tersebut. “Jika
sudah siap, tanpa ragu saya akan membawa mereka ke pasar
internasional,” kata Vivi.
Dengan demikian, sampai saat ini Vivi tengah menjalani pekerjaan
impiannya. “Waktu kecil, saya lebih dulu bisa menggambar daripada
berbicara,” kenangnya.
0 komentar:
Posting Komentar